Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya terdapat di Desa Tempilang Kecamatan Tempilang Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 70 km dari kota Pangkalpinang.
Di desa yang berpenduduk mayoritas pemeluk agama Islam ini, secara turun-temurun setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional ”Perang Ketupat” pada pertengahan bulan Sya'ban. Menurut cerita nenek moyang, upacara tradisional ini berasal dari zaman Urang Lom, yaitu suatu masa masyarakatnya belum mengenal agama.
Desa Tempilang dikaruniai pantai yang indah dengan hamparan pasir berwarna kuning, sehingga dinamakan pantai "Pasir Kuning". Di samping itu Desa Tempilang juga dikenal sebagai desa walet karena banyaknya burung walet bersarang di desa ini. Di pusat Desa Tempilang banyak dibangun gedung-gedung tinggi sebagai tempat bersarang burung walet.
Sesuai kandungan potensi alam tersebut, Desa Tempilang dijuluki juga sebagai Desa "WALET", singkatan dari Wisata Alam Lestari Elok dan Tertib.
Sejalan dengan kehidupan masyarakat Desa Tempilang sebagai nelayan dan petani, setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional "Taber Kampong" pada pertengahan bulan Sya'ban tahun Hijriyah. Upacara ini terdiri dari lima tahapan.
Pertama, Penimbongan, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat.
Kedua, Ngancak, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di laut.
Ketiga, Perang Ketupat, kegiatan simbolis untuk memerangi kejahatan makhluk halus yang mengganggu aktivitas warga masyarakat, baik di darat maupun di laut. Tahapan ini merupakan puncak kegiatan, yang mengundang puluhan ribu penonton dari berbagai pelosok Pulau Bangka. Sekarang acara inilah yang paling dikenal masyarakat dari luar Desa Tempilang. Panitia desa mengemasnya menjadi sebuah tontonan budaya, dipadu dengan pertujukan kesenian modern. Di sini fungsi budaya diperluas menjadi sebagai tuntunan dan tontonan.
Keempat, Nganyot Perae (menghanyutkan perahu). Kegiatan menghanyutkan sebuah perahu kecil, sebagai simbol memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang dari luar Desa Tempilang.
Kelima, Taber Kampong, sebagai penutup seluruh proses upacara. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuang tasak besek (penyakit kulit) dan buyung sumbang (perzinahan). Para petugas taber berkeliling kampung dari rumah ke rumah melakukan penaberan terhadap bangunan dan para penghuninya.
Dalam menyambut upacara "Perang Ketupat", yang bersamaan waktunya dengan "Sedekah Ruwah", masyarakat Tempilang melakukan berbagai persiapan seperti layaknya menyambut hari raya. Untuk acara "Sedekah Ruwah" sendiri, masyarakat Desa Tempilang merayakannya lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena pada hari itu para kerabat yang merantau ke luar desa banyak yang pulang untuk bersilaturahim dengan keluarga di Desa Tempilang, sekaligus berziarah kubur para leluhur.
Sehari sebelum upacara Perang Ketupat dilaksanakan, para dukun menyiapkan perlengkapan upacara, terdiri dari penimbong (rumah-rumahan terbuat dari kayu Mentangor), batu taber, dan perlengkapan ngancak.
Bahan-bahan "batu taber" terdiri dari mata bonglai, mata kunyet, mata cekor, dan mata tebu item, serta daun karamuse. Bahan-bahan tersebut kemudian ditumbuk sampai halus. Selanjutnya dicampur dengan tepung beras yang sudah disiapkan sebelumnya.
Perlengkapan "Ngancak" yang disajikan dalam dulang terdiri dari: 1 ekor ayam panggang; 2 piring buk pulot (nasi ketan); 2 butir telur ayam rebus; 1 piring bubur mirah dan bubur puteh; 1 gelas kopi susu; 1 gelas teh manis; 1 gelas kopi pahit; 4 batang rokok daun nipah; 4 buah pinang kering; 4 buah ketiping mirah dan ketiping puteh; 4 keping gula kabung; 4 buah lilin putih; 3 sisir pisang ambon dan pisang rejang; 1 potong kemenyan; dan 1 piring bertih padi.
Pada malam hari dilaksanakan upacara penimbongan. Kegiatan ini di pusatkan di halaman rumah salah seorang dukun, di sekitar kawasan pantai Pasir Kuning.
Sebelum penimbongan, terlebih dahulu digelar tarian Campak untuk mengasuh batu taber. Dulu, tarian ini sering digelar untuk menghibur masyarakat pada acara-acara perkawinan, peringatan hari-hari besar nasional, dan sebagainya. Namun kini tarian Campak nyaris tercampakkan, tergilas budaya modern.
Kegiatan penimbongan segera dilaksanakan. Para panitia dan dukun menyiapkan segala perlengkapan penimbongan. Sesaji yang akan digunakan juga sebagai perlengkapan Ngancak ditaruh di atas penimbong.
Para dukun melakukan pemanggilan makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat untuk diberikan makanan. Tiga orang dukun secara bergantian membacakan mantra-mantra. Mereka memanggil makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat, antara lain: Akek Simpai, Akek Sekerincing Besi, Akek Bejanggut Kawat, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, dan Datuk Segenter Alam yang bermukim di Gunung Panden; serta Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin, penghuni Gunung Maras. Makhluk-makhluk halus ini, menurut para dukun, termasuk makhluk halus yang baik-baik. 'Mereka' ini dipercaya sebagai penjaga kampung terhadap serangan makhluk jahat dari luar Desa Tempilang.
Makhluk-makhluk halus yang dianggap sedang 'menyantap' hidangan, dihibur dengan tarian Serimbang. Enam orang gadis cantik dengan gerak gemulai mengelilingi arena penimbongan, diiringi lagu Timang Burong. Selesai tarian Serimbang, upacara penimbongan dilanjutkan dengan tarian Kedidi oleh dua orang dukun. Dalam tarian Kedidi diperagakan gerakan silat menirukan gerakan burung kedidi.
Upacara penimbongan ditutup dengan tarian Seramo. Tarian ini menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan. Pada tarian yang berlangsung sangat melelahkan itu tergambar betapa sulitnya berjuang melawan kejahatan. Melalui berbagai bentuknya yang menjelma dalam kehidupan manusia, kekuatan kejahatan sering kali tampak lebih dominan daripada kebaikan. Bahkan pada kasus-kasus tertentu kebaikan mengalami kekalahan atau harus dikalahkan demi kepentingan pribadi dan atau golongan.
Ritual ”Taber Kampong” dilanjutkan dengan acara Ngancak, yaitu pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut, terutama siluman buaya.
Kegiatan ini dilakukan menjelang tengah malam, bertempat di Tanjung Raya. Sekitar pukul setengah sebelas malam Rombongan dukun, terdiri dari dua orang dukun laut dan satu orang dukun darat berangkat dari tempat penimbongan menuju batu taber di Tanjung Raya. Sinar bulan samar-samar mengiringi rombongan dukun menyusuri jalan setapak dan mendaki bukit batu terjal.
Deburan ombak berpacu susul-menyusul menampar bebatuan, seolah bersorak menyambut rombongan dukun yang sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan ngancak. Dengan diterangi empat batang lilin para dukun menata hidangan, seperti pada saat penimbongan.
Pada upacara ngancak ini dukun laut yang memimpin. Dukun ini memulai membacakan mantra-mantra untuk memanggil makhluk halus penghuni laut. Menurut Sang Dukun, nama-nama makhluk laut yang dipanggil tidak boleh dipublikasikan, karena dikhawatirkan akan dipanggil oleh orang-orang yang berniat jahat.
Upacara ngancak dilakukan dengan tujuan agar makhluk-makhluk halus tersebut tetap setia menjaga wilayah perairan Desa Tempilang terhadap gangguan makhluk laut dari luar desa, sehingga para nelayan Desa Tempilang aman melaksanakan aktivitas di laut.
Setiap jenis makanan dimantrai, terutama makanan yang paling disukai siluman buaya, yakni buk pulot, telur rebus, dan pisang rejang. Pemantraan setiap jenis makanan dilakukan sambil memutar-mutar makanan itu di atas asap kemenyan. Kedua orang dukun laut melakukannya bergantian. Setelah selesai memantrai makanan oleh dukun laut, dukun darat memantrai air taber yang akan digunakan untuk menaber laut.
Selanjutnya ketiga orang dukun menuruni tangga batu menuju ke arah laut. Dua orang dukun laut melepaskan buk pulot, telur rebus, pisang rejang dan beras kunyit ke laut. Sedangkan dukun darat melakukan penaberan laut, dengan cara memercikkan air taber menggunakan bunga pinang ke air laut. Acara ngancak selesai menjelang pukul dua belas malam.
Keesokan harinya, saat yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu "Perang Ketupat". Sejak pagi hari puluhan ribu orang, baik dari Desa Tempilang sendiri maupun berasal dari seluruh pelosok Pulau Bangka, berbondong-bondong menuju pantai Pasir Kuning.
Meskipun demikian acara Perang Ketupat baru akan dimulai setelah Bupati sebagai orang yang paling dihormati di wilayah ini berada di lokasi upacara. Setelah mendengar pengarahan Bupati, "Perang Ketupat" segera berkobar.
Pasukan dibagi dua kelompok. Masing-masing satu kelompok mewakili wilayah darat dan kelompok lainnya mewakili wilayah laut. Di tengah arena disediakan 'senjata' berupa ratusan buah ketupat. Masing-masing anggota kelompok bebas merebut ketupat yang tersedia.
Peperangan dimulai dengan diawali dukun darat 'menembak' dukun laut. Setelah kedua dukun memberi aba-aba perang dimulai, masing-masing anggota kelompok menyerbu tumpukan ketupat untuk melempar pihak lawan.
Pertempuran sengit tak terhindarkan. Peperangan yang berlangsung hanya sekitar tiga sampai lima menit ini dimaksudkan untuk memerangi makhluk-makhluk halus yang jahat dan suka mengganggu masyarakat.
Selesai "Perang Ketupat" upacara tradisional ini dilanjutkan dengan Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu. Sebuah perahu kecil berisi bahan makanan, seperti ketupat, lepet dan lauk-pauk, dihanyutkan dukun ke laut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang ke Desa Tempilang, terutama yang bermaksud jahat, agar tidak mengganggu masyarakat.
Setelah rangkaian upacara "Perang Ketupat" selesai, tokoh adat Tempilang mengumumkan pantangan-pantangan bagi seluruh masyarakat yang tinggal di Desa Tempilang selama tiga hari ke depan, terdiri dari empat pantangan di darat, dan tujuh pantangan di laut.Bagi masyarakat yang melanggar pantangan di darat akan dikenakan sanksi oleh dukun darat, yaitu membayar uang 40 ringgit dan satu dulang kue. Bagi yang melanggar pantangan di laut dikenakan sanksi oleh dukun laut, berupa kewajiban membayar denda 12 ringgit serta bubur merah dan bubur putih sebanyak 40 dulang. Selain itu diyakini juga alam akan menghukumnya dalam bentuk kecelakaan di laut.
Sebagai penutup upacara tradisional “Taber Kampong”, para dukun berkeliling kampung, dari pintu ke pintu memercikkan air taber. Bagi yang percaya, ada juga penghuni rumah yang meminta perlengkapan taber, seperti air taber dan bunga pinang (alat untuk menaber) untuk digantung di atas pintu rumah, dengan harapan rumahnya terhindar dari bencana selama setahun ke depan.
Sungailiat, 5 Desember 2009
Lampiran:
A. Pantangan di darat:
1. Berkelahi dalam rumah tangga;
2. Berkerubung kain sarung (betukoi sangkot) di tengah kampung;
3. Menjemur kain di pagar;
4. Bersiul;
B. Pantangan di laut:
1. Menangkap ikan laut dengan cara apapun;
2. Mencuci panci/kuali di sungai/laut;
3. Mencuci perlengkapan orang melahirkan di sungai/laut;
4. Bejuntai kaki di sungai/laut;
5. Memukul kain ke air;
6. Mencuci daging ayam di air sungai/laut;
7. Mencuci kelambu di sungai/laut.
Di desa yang berpenduduk mayoritas pemeluk agama Islam ini, secara turun-temurun setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional ”Perang Ketupat” pada pertengahan bulan Sya'ban. Menurut cerita nenek moyang, upacara tradisional ini berasal dari zaman Urang Lom, yaitu suatu masa masyarakatnya belum mengenal agama.
Desa Tempilang dikaruniai pantai yang indah dengan hamparan pasir berwarna kuning, sehingga dinamakan pantai "Pasir Kuning". Di samping itu Desa Tempilang juga dikenal sebagai desa walet karena banyaknya burung walet bersarang di desa ini. Di pusat Desa Tempilang banyak dibangun gedung-gedung tinggi sebagai tempat bersarang burung walet.
Sesuai kandungan potensi alam tersebut, Desa Tempilang dijuluki juga sebagai Desa "WALET", singkatan dari Wisata Alam Lestari Elok dan Tertib.
Sejalan dengan kehidupan masyarakat Desa Tempilang sebagai nelayan dan petani, setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional "Taber Kampong" pada pertengahan bulan Sya'ban tahun Hijriyah. Upacara ini terdiri dari lima tahapan.
Pertama, Penimbongan, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat.
Kedua, Ngancak, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di laut.
Ketiga, Perang Ketupat, kegiatan simbolis untuk memerangi kejahatan makhluk halus yang mengganggu aktivitas warga masyarakat, baik di darat maupun di laut. Tahapan ini merupakan puncak kegiatan, yang mengundang puluhan ribu penonton dari berbagai pelosok Pulau Bangka. Sekarang acara inilah yang paling dikenal masyarakat dari luar Desa Tempilang. Panitia desa mengemasnya menjadi sebuah tontonan budaya, dipadu dengan pertujukan kesenian modern. Di sini fungsi budaya diperluas menjadi sebagai tuntunan dan tontonan.
Keempat, Nganyot Perae (menghanyutkan perahu). Kegiatan menghanyutkan sebuah perahu kecil, sebagai simbol memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang dari luar Desa Tempilang.
Kelima, Taber Kampong, sebagai penutup seluruh proses upacara. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuang tasak besek (penyakit kulit) dan buyung sumbang (perzinahan). Para petugas taber berkeliling kampung dari rumah ke rumah melakukan penaberan terhadap bangunan dan para penghuninya.
Dalam menyambut upacara "Perang Ketupat", yang bersamaan waktunya dengan "Sedekah Ruwah", masyarakat Tempilang melakukan berbagai persiapan seperti layaknya menyambut hari raya. Untuk acara "Sedekah Ruwah" sendiri, masyarakat Desa Tempilang merayakannya lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena pada hari itu para kerabat yang merantau ke luar desa banyak yang pulang untuk bersilaturahim dengan keluarga di Desa Tempilang, sekaligus berziarah kubur para leluhur.
Sehari sebelum upacara Perang Ketupat dilaksanakan, para dukun menyiapkan perlengkapan upacara, terdiri dari penimbong (rumah-rumahan terbuat dari kayu Mentangor), batu taber, dan perlengkapan ngancak.
Bahan-bahan "batu taber" terdiri dari mata bonglai, mata kunyet, mata cekor, dan mata tebu item, serta daun karamuse. Bahan-bahan tersebut kemudian ditumbuk sampai halus. Selanjutnya dicampur dengan tepung beras yang sudah disiapkan sebelumnya.
Perlengkapan "Ngancak" yang disajikan dalam dulang terdiri dari: 1 ekor ayam panggang; 2 piring buk pulot (nasi ketan); 2 butir telur ayam rebus; 1 piring bubur mirah dan bubur puteh; 1 gelas kopi susu; 1 gelas teh manis; 1 gelas kopi pahit; 4 batang rokok daun nipah; 4 buah pinang kering; 4 buah ketiping mirah dan ketiping puteh; 4 keping gula kabung; 4 buah lilin putih; 3 sisir pisang ambon dan pisang rejang; 1 potong kemenyan; dan 1 piring bertih padi.
Pada malam hari dilaksanakan upacara penimbongan. Kegiatan ini di pusatkan di halaman rumah salah seorang dukun, di sekitar kawasan pantai Pasir Kuning.
Sebelum penimbongan, terlebih dahulu digelar tarian Campak untuk mengasuh batu taber. Dulu, tarian ini sering digelar untuk menghibur masyarakat pada acara-acara perkawinan, peringatan hari-hari besar nasional, dan sebagainya. Namun kini tarian Campak nyaris tercampakkan, tergilas budaya modern.
Kegiatan penimbongan segera dilaksanakan. Para panitia dan dukun menyiapkan segala perlengkapan penimbongan. Sesaji yang akan digunakan juga sebagai perlengkapan Ngancak ditaruh di atas penimbong.
Para dukun melakukan pemanggilan makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat untuk diberikan makanan. Tiga orang dukun secara bergantian membacakan mantra-mantra. Mereka memanggil makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat, antara lain: Akek Simpai, Akek Sekerincing Besi, Akek Bejanggut Kawat, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, dan Datuk Segenter Alam yang bermukim di Gunung Panden; serta Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin, penghuni Gunung Maras. Makhluk-makhluk halus ini, menurut para dukun, termasuk makhluk halus yang baik-baik. 'Mereka' ini dipercaya sebagai penjaga kampung terhadap serangan makhluk jahat dari luar Desa Tempilang.
Makhluk-makhluk halus yang dianggap sedang 'menyantap' hidangan, dihibur dengan tarian Serimbang. Enam orang gadis cantik dengan gerak gemulai mengelilingi arena penimbongan, diiringi lagu Timang Burong. Selesai tarian Serimbang, upacara penimbongan dilanjutkan dengan tarian Kedidi oleh dua orang dukun. Dalam tarian Kedidi diperagakan gerakan silat menirukan gerakan burung kedidi.
Upacara penimbongan ditutup dengan tarian Seramo. Tarian ini menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan. Pada tarian yang berlangsung sangat melelahkan itu tergambar betapa sulitnya berjuang melawan kejahatan. Melalui berbagai bentuknya yang menjelma dalam kehidupan manusia, kekuatan kejahatan sering kali tampak lebih dominan daripada kebaikan. Bahkan pada kasus-kasus tertentu kebaikan mengalami kekalahan atau harus dikalahkan demi kepentingan pribadi dan atau golongan.
Ritual ”Taber Kampong” dilanjutkan dengan acara Ngancak, yaitu pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut, terutama siluman buaya.
Kegiatan ini dilakukan menjelang tengah malam, bertempat di Tanjung Raya. Sekitar pukul setengah sebelas malam Rombongan dukun, terdiri dari dua orang dukun laut dan satu orang dukun darat berangkat dari tempat penimbongan menuju batu taber di Tanjung Raya. Sinar bulan samar-samar mengiringi rombongan dukun menyusuri jalan setapak dan mendaki bukit batu terjal.
Deburan ombak berpacu susul-menyusul menampar bebatuan, seolah bersorak menyambut rombongan dukun yang sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan ngancak. Dengan diterangi empat batang lilin para dukun menata hidangan, seperti pada saat penimbongan.
Pada upacara ngancak ini dukun laut yang memimpin. Dukun ini memulai membacakan mantra-mantra untuk memanggil makhluk halus penghuni laut. Menurut Sang Dukun, nama-nama makhluk laut yang dipanggil tidak boleh dipublikasikan, karena dikhawatirkan akan dipanggil oleh orang-orang yang berniat jahat.
Upacara ngancak dilakukan dengan tujuan agar makhluk-makhluk halus tersebut tetap setia menjaga wilayah perairan Desa Tempilang terhadap gangguan makhluk laut dari luar desa, sehingga para nelayan Desa Tempilang aman melaksanakan aktivitas di laut.
Setiap jenis makanan dimantrai, terutama makanan yang paling disukai siluman buaya, yakni buk pulot, telur rebus, dan pisang rejang. Pemantraan setiap jenis makanan dilakukan sambil memutar-mutar makanan itu di atas asap kemenyan. Kedua orang dukun laut melakukannya bergantian. Setelah selesai memantrai makanan oleh dukun laut, dukun darat memantrai air taber yang akan digunakan untuk menaber laut.
Selanjutnya ketiga orang dukun menuruni tangga batu menuju ke arah laut. Dua orang dukun laut melepaskan buk pulot, telur rebus, pisang rejang dan beras kunyit ke laut. Sedangkan dukun darat melakukan penaberan laut, dengan cara memercikkan air taber menggunakan bunga pinang ke air laut. Acara ngancak selesai menjelang pukul dua belas malam.
Keesokan harinya, saat yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu "Perang Ketupat". Sejak pagi hari puluhan ribu orang, baik dari Desa Tempilang sendiri maupun berasal dari seluruh pelosok Pulau Bangka, berbondong-bondong menuju pantai Pasir Kuning.
Meskipun demikian acara Perang Ketupat baru akan dimulai setelah Bupati sebagai orang yang paling dihormati di wilayah ini berada di lokasi upacara. Setelah mendengar pengarahan Bupati, "Perang Ketupat" segera berkobar.
Pasukan dibagi dua kelompok. Masing-masing satu kelompok mewakili wilayah darat dan kelompok lainnya mewakili wilayah laut. Di tengah arena disediakan 'senjata' berupa ratusan buah ketupat. Masing-masing anggota kelompok bebas merebut ketupat yang tersedia.
Peperangan dimulai dengan diawali dukun darat 'menembak' dukun laut. Setelah kedua dukun memberi aba-aba perang dimulai, masing-masing anggota kelompok menyerbu tumpukan ketupat untuk melempar pihak lawan.
Pertempuran sengit tak terhindarkan. Peperangan yang berlangsung hanya sekitar tiga sampai lima menit ini dimaksudkan untuk memerangi makhluk-makhluk halus yang jahat dan suka mengganggu masyarakat.
Selesai "Perang Ketupat" upacara tradisional ini dilanjutkan dengan Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu. Sebuah perahu kecil berisi bahan makanan, seperti ketupat, lepet dan lauk-pauk, dihanyutkan dukun ke laut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang ke Desa Tempilang, terutama yang bermaksud jahat, agar tidak mengganggu masyarakat.
Setelah rangkaian upacara "Perang Ketupat" selesai, tokoh adat Tempilang mengumumkan pantangan-pantangan bagi seluruh masyarakat yang tinggal di Desa Tempilang selama tiga hari ke depan, terdiri dari empat pantangan di darat, dan tujuh pantangan di laut.Bagi masyarakat yang melanggar pantangan di darat akan dikenakan sanksi oleh dukun darat, yaitu membayar uang 40 ringgit dan satu dulang kue. Bagi yang melanggar pantangan di laut dikenakan sanksi oleh dukun laut, berupa kewajiban membayar denda 12 ringgit serta bubur merah dan bubur putih sebanyak 40 dulang. Selain itu diyakini juga alam akan menghukumnya dalam bentuk kecelakaan di laut.
Sebagai penutup upacara tradisional “Taber Kampong”, para dukun berkeliling kampung, dari pintu ke pintu memercikkan air taber. Bagi yang percaya, ada juga penghuni rumah yang meminta perlengkapan taber, seperti air taber dan bunga pinang (alat untuk menaber) untuk digantung di atas pintu rumah, dengan harapan rumahnya terhindar dari bencana selama setahun ke depan.
Sungailiat, 5 Desember 2009
Lampiran:
A. Pantangan di darat:
1. Berkelahi dalam rumah tangga;
2. Berkerubung kain sarung (betukoi sangkot) di tengah kampung;
3. Menjemur kain di pagar;
4. Bersiul;
B. Pantangan di laut:
1. Menangkap ikan laut dengan cara apapun;
2. Mencuci panci/kuali di sungai/laut;
3. Mencuci perlengkapan orang melahirkan di sungai/laut;
4. Bejuntai kaki di sungai/laut;
5. Memukul kain ke air;
6. Mencuci daging ayam di air sungai/laut;
7. Mencuci kelambu di sungai/laut.