Dari tablet tujuh inchi buatan China, suara Ridho Rhoma terdengar merdu melantunkan lagu “Menunggu” ciptaan ayahnya. M@cver (baca: ma’per) menyelipkan tablet murah miliknya itu di sinto pondok bambu di tengah kolam pemancingan. Sementara M@cver menabur pelet ke tengah kolam, Ridho Rhoma terus merintih:
Datanglah, kedatanganmu kutunggu
Telah lama, telah lama ku menunggu
...
Derita hidup yang kualami
Duhai pahit sekali...
M@cver, sahabat sejatiku, mengulum senyum menikmati kemerduan suara Ridho Rhoma. Sepertinya selaras dengan suara hatinya saat ini. Bunyi kecipuk Bawal nyerambun pelet membuat tentram hatinya. Pada masa “menunggu” ini, setiap pagi M@cver memberi makan ikan-ikan di kolam pemancingan yang asri di tengah kebun karetnya itu.
Beberapa hari terakhir ini M@cver memang sedang galau, menunggu tanpa kepastian hari Penobatannya sebagai Raja baru Kerajaan Munafiksistan. Tadinya dia berharap Kerajaan Besar akan memberi insentif atas penyelenggaraan Pemilihan Raja dalam kondisi yang sangat kondusif, aman dan tentram, berupa percepatan dan kelancaran proses penobatannya. Di tempat lain setiap Kegiatan Pemilihan Raja selalu diwarnai keributan, sampai terjadi pertumpahan darah para pendukung Calon Raja.
Tapi apa boleh buat. Mungkin ini ujian terakhir dari Yang Maha Kuasa, pikirnya. M@cver menyadari, dia harus bersabar. Ujian sebelumnya jauh lebih berat. Berbagai halangan dan rintangan selama proses pencalonan dan pemilihan telah sukses dilaluinya dengan hasil di luar dugaan para pengamat politik dalam dan luar negeri. Tak seorang pun Profesor Ilmu Politik yang memprediksi apalagi mengakui M@cver, seorang seniman sastra, terpilih sebagai Raja di Kerajaan Munafiksistan. Dalam semua buku analisis politik yang beredar di kerajaan ini selalu tertulis: “Kandidat yang paling banyak menghamburkan duit, sembako dan kerudung kepada para pemilih, pasti keluar sebagai pemenang!”
M@cver tetap percaya diri. Dia yakin salah satu ayat yang termaktub dalam Kitab Suci masih relevan sampai kini:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Tholut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Tholut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.”
Dia juga tak peduli banyak yang mengejek: “Dasar Urang Kampong, dak nabat. Tidak punya harta, berani mencalonkan diri sebagai Raja. Lihatlah nanti bakal ngiret kaleng!”
Ternyata rakyat Kerajaan Munafiksistan telah sangat cerdas, berkat kemajuan pembangunan sektor pendidikan oleh raja sebelumnya. Mereka mampu menilai, pihak-pihak yang selama kampanye banyak menghamburkan dana, setelah terpilih nanti pastilah berupaya mulang modal yang menjadi prioritas utama. Oleh karena itu mayoritas rakyat sepakat: “Ambil berasnya, pilih yang lain!”
Sebenarnya bagi M@cver sendiri tidak terlalu penting penobatannya tekacer-kacer. Yang dirisaukannya justru kepentingan rakyat. Betapa besar kerugian rakyat dengan penundaan penobatan ini. Betapa lama rakyat menunggu Rencana Pembangunan Jangka Menengah baru dan Rencana Anggaran Belanja tahun depan. Dan betapa banyak pelayanan publik terbengkalai, karena para kepala kantornya mulai terserang virus H2C alias Harap-harap Cemas. Mereka yang dulu secara vulgar menghambat dan menghina pencalonan M@cver khawatir akan berlaku hukum karma. Padahal M@cver sendiri belum berpikir ke arah itu.
***
Seseorang turun dari mobil berwarna silver bergegas menuju kolam ikan. M@cver sengeh-sengeh menyambut kedatangan tamunya.
“Alhamdulillah, SK Bapak sudah ada,” kata tamu itu sambil menyodorkan map warna merah.
M@cver memperhatikan isi map. Senyumnya makin mengembang. “Kapan acara penobatan?” tanyanya kemudian.
“Insya Allah akan diselenggarakan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya...”
“Sederhana saja, tapi berkesan.”
“Siap, Pak!” ujar tamu itu singkat, meniru kata-kata sakti seorang Pejabat Teladan yang sangat disukai atasan karena menunjukkan loyalitas total. Bagi atasan seperti itu loyalitas lebih penting daripada profesionalitas.
Tanpa basa-basi, tamu bermobil silver undur diri. Segera mempersiapkan acara Penobatan Raja baru Kerajaan Munafiksistan. Sederhana saja. Tanpa hiburan Band NOAH, atau orkes Soneta. Para undangan yang hadir dari seluruh penjuru negeri hanya dihibur musik Dambus dan tari Rudat persembahan para santri Madrasah Dienniyah, tempat M@cver dulu belajar ngaji dan memahami agama.
***
Hari-hari pertama sebagai Raja digunakan M@cver untuk mempelajari arsip-arsip di kantor itu. Dia bertekad melakukan pembersihan karat-karat birokrasi. Bagi dia, bersih itu indah. Prinsipnya, perubahan radikal hanya dapat terwujud apabila dimulai oleh pemimpin tertinggi di suatu wilayah.
Pengalaman menarik bagi M@cver pada pekan pertama sebagai Raja, dia banyak sekali kedatangan tamu. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada birokrat, seniman, pengusaha, tokoh pemuda, pimpinan LSM, dan sebagainya.
Dari unsur birokrat, M@cver menerima laporan bahwa sektor strategis tertentu perlu mendapat perhatian lebih serius kalau ingin segera melihat kemajuan. Orang yang menanganinya harus profesional, kreatif dan inovatif. Birokrat tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang berasal satu kampung dengan M@cver. Kemudian dia menyarankan sektor-sektor strategis itu agar diurus oleh orang-orang yang jelas asal-usulnya, termasuk daerah kelahirannya. M@cver hanya menebar senyum.
Wakil seniman menyampaikan rasa syukurnya karena seniman telah dipercaya memimpin Kerajaan ini. Mereka optimis, dengan kekayaan imajinasi, kreativitas, dan idealisme Kerajaan ini segera menjadi negeri yang indah seperti taman firdaus. Di ujung pembicaraan mereka menyodorkan map berisi proposal pergelaran seni.
“Eksistensi Kerajaan kita ini perlu diperkenalkan melalui pergelaran seni. Dengan begitu dunia luar tahu bahwa kita memiliki kekayaan budaya yang tinggi dan berlimpah,” jelas wakil rombongan seniman.
M@cver melirik angka yang tertera pada rencana biaya. Fantastis! Kembali M@cver menebar senyum. Para seniman merasa lega.
Berikutnya, ketua organisasi pemuda yang merasa sebagai pendukung kuat pencalonan M@cver, mengucapkan selamat dan merasa ikut berbahagia atas terpilihnya M@cver sebagai Raja.
“Dalam sejarah bangsa kita, pemuda selalu muncul sebagai pelopor perubahan,” kata ketua organisasi pemuda itu setengah menggurui. “Oleh karena itu eksistensi mereka jangan diabaikan.”
Secara panjang lebar pemuda itu membentangkan kisah sejarah pergerakan pemuda sejak Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Penculikan Rengas Dengklok 1945, Orde Baru 1966, Malari 1974, sampai Gerakan Reformasi 1998.
Pada setiap tonggak sejarah tersebut pemuda selalu berada di depan secara gagah berani melawan kezaliman, sehingga korban berjatuhan dianggap sebagai bunga bangsa. Darah mereka adalah sumber kehidupan generasi ini, yang terus mengalir sampai akhir episode sejarah yang mereka perjuangkan. Sebab oleh generasi pada episode sejarah berikutnya kadang-kadang mereka malah dianggap sebagai pengkhianat bangsa, terutama oleh tangan-tangan kekar yang berkuasa memutarbalikkan fakta sejarah.
M@cver manggut-manggut. Sesekali dia melirik arlojinya. Dia sadar waktu Zuhur sudah hampir usai. Tetapi M@cver berusaha melayani tamunya dengan baik dan tanpa pandang bulu. Menurut dia, Raja itu adalah pelayan rakyat. Jadi dia harus menghormati majikan-majikannya itu dengan pelayanan prima. Kehilangan waktu Zuhur saat ini masih bisa dijamak pada waktu Ashar nanti, pikirnya. Walaupun dia tahu, ini bukanlah keputusan yang bijak.
“Sebagai wujud penghargaan terhadap perjuangan pemuda, tidak berlebihan kiranya Bapak meningkatkan kualitas pemuda kita. Peningkatan kualitas sumber daya manusia itu perlu dilakukan melalui jalur pendidikan. Kami harapkan Bapak sudi menugaskan salah seorang pemuda kita untuk sekolah kembali di salah satu perguruan tinggi terkenal di luar kerajaan ini dengan biaya dinas,” usul salah seorang pemuda, anggota rombongan.
“Menurut saya, pemuda yang tepat untuk disekolahkan itu adalah ketua organisasi pemuda ini,” tambah pemuda lainnya sambil menunjuk ke arah ketua organisasi pemuda. Pemuda yang ditunjuk meremas-remas jemarinya sendiri.
M@cver terperanjat mendengar kata penutup rombongan pemuda itu. Bukan karena substansi pembicaraan, melainkan karena dia mulai mengantuk, kelelahan, seharian melayani para majikannya.
Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. M@cver mempersilakan rombongan tamu terakhir masuk.
“Kami dari kelompok pengusaha muda,” juru bicara kelompok itu memperkenalkan diri. “Maaf kami telah mengganggu waktu istirahat Bapak. Izinkan kami mengucapkan selamat atas terpilihnya Bapak sebagai Raja.”
M@cver terkesan atas sopan-santun kelompok ini. Dia berusaha menahan kantuknya supaya terlihat tetap segar dan tegar dalam melayani majikannya. Dia membiarkan kelompok pengusaha ini mendominasi pembicaraan. Sebagai pejabat, dia harus tampak lebih pandai mendengar. Suatu keterampilan yang langka dimiliki para pejabat masa lalu. Waktu itu para pejabat jarang sekali mau mendengar pendapat orang lain karena merasa pendapat dialah yang paling benar.
Sebelum meninggalkan ruangan, para pengusaha itu menyerahkan masing-masing selembar amplop. Ada sepuluh amplop putih tipis di tangan M@cver saat ini.
“Buka dan agendakan surat ini,” M@cver menyuruh sekretarisnya.
“Ini dari para pemborong tadi, Pak?” tanya sekretaris bingung.
“Ya. Segera dibuka. Jangan biasakan menunda pekerjaan.”
“Tapi, Pak…”
“Mungkin ada sesuatu yang sangat penting segera ditanggapi.”
“Biasanya kalau amplop dari pemborong selalu dibuka oleh …”
“Ah! Itu kebiasaan buruk. Masa sebagai Raja tugas saya membuka amplop? Percuma ada staf sekretariat!”
Sekretaris itu geleng-geleng kepala. Raja bagak! Makinya dalam hati. Pelan-pelan dengan tangan gemetar dia membuka amplop itu satu per satu. Astaga! Isinya cek semua. Angka-angka yang tertulis dalam cek itu jumlah nolnya jauh lebih banyak daripada jumlah nol dalam cek yang tercecer di gedung DPR tempo hari. Sekretaris itu makin gemetar. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat cek dengan jumlah nol sebanyak itu!
“Cek! Cek, Pak!”
“Suruh Sekja saja mengeceknya!”
“Ya ampun, Pak! Ini cek. Duit. Rezeki nomplok, Pak!”
M@cver terperangah. “Untuk apa?”
“Untuk Bapak. Untuk menyulap kehidupan Bapak, dari seniman kaya imajinasi menjadi raja berlimpah materi, Pak!”
“Astaghfirullah! Saya tidak mau menjadi tukang sulap atau sebagai bahan sulapan. Kembalikan segera kepada orang-orang tadi. Segera! Saya mau pulang.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali salah seorang dari kelompok pengusaha kemarin berkunjung ke Istana Raja. M@cver sedang minum kopi bersama seorang sahabatnya yang baru datang dari kampung.
“Kami semua mohon maaf setulus-tulusnya, Pak!” pinta pengusaha itu dengan nada memelas. “Kemarin itu kami benar-benar khilaf. Kami menyesal. Tidak sepantasnya kami berbuat begitu terhadap Bapak. Sebagai seniman profesional yang kaya imajinasi, pemberian kami kemarin itu sangat tidak memadai. Oleh karena itu kami telah sepakat untuk menambah jumlah nolnya, atau Bapak dapat menulis sendiri berapa jumlah yang sesuai pada cek kosong ini …” Pengusaha itu menyerahkan selembar amplop seperti kemarin.
Ingin rasanya M@cver menampar muka orang itu. Penghinaannya bertambah keji.
“Pulang. Pulang saja, dan bawa kembali barang ini!”
Pengusaha itu merasa ketakutan. Dia langsung angkat kaki.
“Kurang ajar kau, M@cver!” maki sahabatnya. “Baru menjadi Raja saja kamu sudah berani menentang ajaran nenek moyang kita.”
“Ada apa sebenarnya?” tanya M@cver heran.
“Permintaan yang ditolak sungguh sangat menyedihkan. Tetapi pemberian yang ditolak jauh lebih menyakitkan lagi. Kamu telah menyayat hati orang tadi. Nenek moyang kita mengajarkan, jangan pernah menolak pemberian orang, apalagi dengan cara kasar seperti itu.”
M@cver sadar akan kekhilafannya. Dia takut kualat kalau melanggar ajaran nenek moyang. “Panggil orang tadi!” perintah M@cver pada petugas keamanan.
Keputusan M@cver itu ternyata mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Para pengusaha bersuka ria. Lebih-lebih lagi isterinya. Seumur hidup belum pernah dia melihat nol sebanyak itu. Ini betul-betul ajaib. Sebentar lagi kehidupan isteri M@cver akan berubah seratus delapan puluh derajat. Sebagai wanita Kerajaan Munafiksistan dia akan mewarisi budaya bangsa, mendapat status ikutan dari suami. Kalau suaminya disebut ‘Bapak Raja’, maka dia akan dipanggil ‘Ibu Raja’ secara otomatis. Itulah kebanggaan dan keistimewaan wanita Munafiksistan dibanding kaum prianya. Pria Munafiksistan tidak serta-merta dipanggil ‘Bapak Ratu’ ketika isterinya menjadi ‘Ibu Ratu”.
Seratus hari kemudian berbagai komponen masyarakat terdiri dari organisasi pemuda, mahasiswa, LSM, dan kelompok demonstran bayaran berdemonstrasi di depan Istana Raja. Mereka menuntut M@cver mundur sekarang juga. Menurut para demonstran, selama kepemimpinan M@cver, Kerajaan yang dibangga-banggakan seluruh rakyat ini tidak mengalami kemajuan. Malah ada indikasi dekadensi moral merajalela, terutama di lingkungan birokrasi. Pelayanan masyarakat baik intern maupun ekstern semakin buruk. Proyek-proyek pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, ternyata berlumuran lumpur KKN. Banyak pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan bestek.
“Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanya M@cver pada Inspektur Kerajaan.
“Pernahkah Bapak menerima amplop dari para pemborong sebelum proyek-proyek itu dilaksanakan?” Inspektur Kerajaan balik bertanya.
Nah! M@cver paling sulit melupakan sesuatu. Dia sangat ingat pada pagi jahanam itu! Dan yang paling jahanam adalah sahabatnya yang mengajarkan budaya nenek moyangnya dulu!
“M@cver mundur atau dimundurkan?!” teriak para demonstran semakin garang.
“Mundurkan sekarang!” balas yang lain.
“Mundur sekarang?” tanya M@cver terkekeh. “Sekarang?”
“Sekarang bukan waktunya tidur dan bermimpi, Bat!” kataku pada M@cver yang sedang tidur di kursinya dengan kaki bergoyang-goyang di atas meja. Aku biasa memanggil ‘Bat’ sebagai kependekan ‘sahabat’ pada M@cver, sahabat sejatiku itu.
Rupanya semalaman dia tidak tidur, sehingga sampai pukul sembilan pagi ini dia masih pulas. Komputer di atas meja kerjanya masih menampakkan naskah cerpen yang sedang digarapnya belum selesai. <
Sungailiat, 1 September 2013
Keterangan:
Kisah ini hanyalah fiksi belaka. Apabila terdapat kesamaan nama dan/atau peristiwa, semua itu merupakan kebetulan saja bukanlah suatu kebenaran.
Datanglah, kedatanganmu kutunggu
Telah lama, telah lama ku menunggu
...
Derita hidup yang kualami
Duhai pahit sekali...
M@cver, sahabat sejatiku, mengulum senyum menikmati kemerduan suara Ridho Rhoma. Sepertinya selaras dengan suara hatinya saat ini. Bunyi kecipuk Bawal nyerambun pelet membuat tentram hatinya. Pada masa “menunggu” ini, setiap pagi M@cver memberi makan ikan-ikan di kolam pemancingan yang asri di tengah kebun karetnya itu.
Beberapa hari terakhir ini M@cver memang sedang galau, menunggu tanpa kepastian hari Penobatannya sebagai Raja baru Kerajaan Munafiksistan. Tadinya dia berharap Kerajaan Besar akan memberi insentif atas penyelenggaraan Pemilihan Raja dalam kondisi yang sangat kondusif, aman dan tentram, berupa percepatan dan kelancaran proses penobatannya. Di tempat lain setiap Kegiatan Pemilihan Raja selalu diwarnai keributan, sampai terjadi pertumpahan darah para pendukung Calon Raja.
Tapi apa boleh buat. Mungkin ini ujian terakhir dari Yang Maha Kuasa, pikirnya. M@cver menyadari, dia harus bersabar. Ujian sebelumnya jauh lebih berat. Berbagai halangan dan rintangan selama proses pencalonan dan pemilihan telah sukses dilaluinya dengan hasil di luar dugaan para pengamat politik dalam dan luar negeri. Tak seorang pun Profesor Ilmu Politik yang memprediksi apalagi mengakui M@cver, seorang seniman sastra, terpilih sebagai Raja di Kerajaan Munafiksistan. Dalam semua buku analisis politik yang beredar di kerajaan ini selalu tertulis: “Kandidat yang paling banyak menghamburkan duit, sembako dan kerudung kepada para pemilih, pasti keluar sebagai pemenang!”
M@cver tetap percaya diri. Dia yakin salah satu ayat yang termaktub dalam Kitab Suci masih relevan sampai kini:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Tholut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Tholut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.”
Dia juga tak peduli banyak yang mengejek: “Dasar Urang Kampong, dak nabat. Tidak punya harta, berani mencalonkan diri sebagai Raja. Lihatlah nanti bakal ngiret kaleng!”
Ternyata rakyat Kerajaan Munafiksistan telah sangat cerdas, berkat kemajuan pembangunan sektor pendidikan oleh raja sebelumnya. Mereka mampu menilai, pihak-pihak yang selama kampanye banyak menghamburkan dana, setelah terpilih nanti pastilah berupaya mulang modal yang menjadi prioritas utama. Oleh karena itu mayoritas rakyat sepakat: “Ambil berasnya, pilih yang lain!”
Sebenarnya bagi M@cver sendiri tidak terlalu penting penobatannya tekacer-kacer. Yang dirisaukannya justru kepentingan rakyat. Betapa besar kerugian rakyat dengan penundaan penobatan ini. Betapa lama rakyat menunggu Rencana Pembangunan Jangka Menengah baru dan Rencana Anggaran Belanja tahun depan. Dan betapa banyak pelayanan publik terbengkalai, karena para kepala kantornya mulai terserang virus H2C alias Harap-harap Cemas. Mereka yang dulu secara vulgar menghambat dan menghina pencalonan M@cver khawatir akan berlaku hukum karma. Padahal M@cver sendiri belum berpikir ke arah itu.
***
Seseorang turun dari mobil berwarna silver bergegas menuju kolam ikan. M@cver sengeh-sengeh menyambut kedatangan tamunya.
“Alhamdulillah, SK Bapak sudah ada,” kata tamu itu sambil menyodorkan map warna merah.
M@cver memperhatikan isi map. Senyumnya makin mengembang. “Kapan acara penobatan?” tanyanya kemudian.
“Insya Allah akan diselenggarakan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya...”
“Sederhana saja, tapi berkesan.”
“Siap, Pak!” ujar tamu itu singkat, meniru kata-kata sakti seorang Pejabat Teladan yang sangat disukai atasan karena menunjukkan loyalitas total. Bagi atasan seperti itu loyalitas lebih penting daripada profesionalitas.
Tanpa basa-basi, tamu bermobil silver undur diri. Segera mempersiapkan acara Penobatan Raja baru Kerajaan Munafiksistan. Sederhana saja. Tanpa hiburan Band NOAH, atau orkes Soneta. Para undangan yang hadir dari seluruh penjuru negeri hanya dihibur musik Dambus dan tari Rudat persembahan para santri Madrasah Dienniyah, tempat M@cver dulu belajar ngaji dan memahami agama.
***
Hari-hari pertama sebagai Raja digunakan M@cver untuk mempelajari arsip-arsip di kantor itu. Dia bertekad melakukan pembersihan karat-karat birokrasi. Bagi dia, bersih itu indah. Prinsipnya, perubahan radikal hanya dapat terwujud apabila dimulai oleh pemimpin tertinggi di suatu wilayah.
Pengalaman menarik bagi M@cver pada pekan pertama sebagai Raja, dia banyak sekali kedatangan tamu. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada birokrat, seniman, pengusaha, tokoh pemuda, pimpinan LSM, dan sebagainya.
Dari unsur birokrat, M@cver menerima laporan bahwa sektor strategis tertentu perlu mendapat perhatian lebih serius kalau ingin segera melihat kemajuan. Orang yang menanganinya harus profesional, kreatif dan inovatif. Birokrat tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang berasal satu kampung dengan M@cver. Kemudian dia menyarankan sektor-sektor strategis itu agar diurus oleh orang-orang yang jelas asal-usulnya, termasuk daerah kelahirannya. M@cver hanya menebar senyum.
Wakil seniman menyampaikan rasa syukurnya karena seniman telah dipercaya memimpin Kerajaan ini. Mereka optimis, dengan kekayaan imajinasi, kreativitas, dan idealisme Kerajaan ini segera menjadi negeri yang indah seperti taman firdaus. Di ujung pembicaraan mereka menyodorkan map berisi proposal pergelaran seni.
“Eksistensi Kerajaan kita ini perlu diperkenalkan melalui pergelaran seni. Dengan begitu dunia luar tahu bahwa kita memiliki kekayaan budaya yang tinggi dan berlimpah,” jelas wakil rombongan seniman.
M@cver melirik angka yang tertera pada rencana biaya. Fantastis! Kembali M@cver menebar senyum. Para seniman merasa lega.
Berikutnya, ketua organisasi pemuda yang merasa sebagai pendukung kuat pencalonan M@cver, mengucapkan selamat dan merasa ikut berbahagia atas terpilihnya M@cver sebagai Raja.
“Dalam sejarah bangsa kita, pemuda selalu muncul sebagai pelopor perubahan,” kata ketua organisasi pemuda itu setengah menggurui. “Oleh karena itu eksistensi mereka jangan diabaikan.”
Secara panjang lebar pemuda itu membentangkan kisah sejarah pergerakan pemuda sejak Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Penculikan Rengas Dengklok 1945, Orde Baru 1966, Malari 1974, sampai Gerakan Reformasi 1998.
Pada setiap tonggak sejarah tersebut pemuda selalu berada di depan secara gagah berani melawan kezaliman, sehingga korban berjatuhan dianggap sebagai bunga bangsa. Darah mereka adalah sumber kehidupan generasi ini, yang terus mengalir sampai akhir episode sejarah yang mereka perjuangkan. Sebab oleh generasi pada episode sejarah berikutnya kadang-kadang mereka malah dianggap sebagai pengkhianat bangsa, terutama oleh tangan-tangan kekar yang berkuasa memutarbalikkan fakta sejarah.
M@cver manggut-manggut. Sesekali dia melirik arlojinya. Dia sadar waktu Zuhur sudah hampir usai. Tetapi M@cver berusaha melayani tamunya dengan baik dan tanpa pandang bulu. Menurut dia, Raja itu adalah pelayan rakyat. Jadi dia harus menghormati majikan-majikannya itu dengan pelayanan prima. Kehilangan waktu Zuhur saat ini masih bisa dijamak pada waktu Ashar nanti, pikirnya. Walaupun dia tahu, ini bukanlah keputusan yang bijak.
“Sebagai wujud penghargaan terhadap perjuangan pemuda, tidak berlebihan kiranya Bapak meningkatkan kualitas pemuda kita. Peningkatan kualitas sumber daya manusia itu perlu dilakukan melalui jalur pendidikan. Kami harapkan Bapak sudi menugaskan salah seorang pemuda kita untuk sekolah kembali di salah satu perguruan tinggi terkenal di luar kerajaan ini dengan biaya dinas,” usul salah seorang pemuda, anggota rombongan.
“Menurut saya, pemuda yang tepat untuk disekolahkan itu adalah ketua organisasi pemuda ini,” tambah pemuda lainnya sambil menunjuk ke arah ketua organisasi pemuda. Pemuda yang ditunjuk meremas-remas jemarinya sendiri.
M@cver terperanjat mendengar kata penutup rombongan pemuda itu. Bukan karena substansi pembicaraan, melainkan karena dia mulai mengantuk, kelelahan, seharian melayani para majikannya.
Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. M@cver mempersilakan rombongan tamu terakhir masuk.
“Kami dari kelompok pengusaha muda,” juru bicara kelompok itu memperkenalkan diri. “Maaf kami telah mengganggu waktu istirahat Bapak. Izinkan kami mengucapkan selamat atas terpilihnya Bapak sebagai Raja.”
M@cver terkesan atas sopan-santun kelompok ini. Dia berusaha menahan kantuknya supaya terlihat tetap segar dan tegar dalam melayani majikannya. Dia membiarkan kelompok pengusaha ini mendominasi pembicaraan. Sebagai pejabat, dia harus tampak lebih pandai mendengar. Suatu keterampilan yang langka dimiliki para pejabat masa lalu. Waktu itu para pejabat jarang sekali mau mendengar pendapat orang lain karena merasa pendapat dialah yang paling benar.
Sebelum meninggalkan ruangan, para pengusaha itu menyerahkan masing-masing selembar amplop. Ada sepuluh amplop putih tipis di tangan M@cver saat ini.
“Buka dan agendakan surat ini,” M@cver menyuruh sekretarisnya.
“Ini dari para pemborong tadi, Pak?” tanya sekretaris bingung.
“Ya. Segera dibuka. Jangan biasakan menunda pekerjaan.”
“Tapi, Pak…”
“Mungkin ada sesuatu yang sangat penting segera ditanggapi.”
“Biasanya kalau amplop dari pemborong selalu dibuka oleh …”
“Ah! Itu kebiasaan buruk. Masa sebagai Raja tugas saya membuka amplop? Percuma ada staf sekretariat!”
Sekretaris itu geleng-geleng kepala. Raja bagak! Makinya dalam hati. Pelan-pelan dengan tangan gemetar dia membuka amplop itu satu per satu. Astaga! Isinya cek semua. Angka-angka yang tertulis dalam cek itu jumlah nolnya jauh lebih banyak daripada jumlah nol dalam cek yang tercecer di gedung DPR tempo hari. Sekretaris itu makin gemetar. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat cek dengan jumlah nol sebanyak itu!
“Cek! Cek, Pak!”
“Suruh Sekja saja mengeceknya!”
“Ya ampun, Pak! Ini cek. Duit. Rezeki nomplok, Pak!”
M@cver terperangah. “Untuk apa?”
“Untuk Bapak. Untuk menyulap kehidupan Bapak, dari seniman kaya imajinasi menjadi raja berlimpah materi, Pak!”
“Astaghfirullah! Saya tidak mau menjadi tukang sulap atau sebagai bahan sulapan. Kembalikan segera kepada orang-orang tadi. Segera! Saya mau pulang.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali salah seorang dari kelompok pengusaha kemarin berkunjung ke Istana Raja. M@cver sedang minum kopi bersama seorang sahabatnya yang baru datang dari kampung.
“Kami semua mohon maaf setulus-tulusnya, Pak!” pinta pengusaha itu dengan nada memelas. “Kemarin itu kami benar-benar khilaf. Kami menyesal. Tidak sepantasnya kami berbuat begitu terhadap Bapak. Sebagai seniman profesional yang kaya imajinasi, pemberian kami kemarin itu sangat tidak memadai. Oleh karena itu kami telah sepakat untuk menambah jumlah nolnya, atau Bapak dapat menulis sendiri berapa jumlah yang sesuai pada cek kosong ini …” Pengusaha itu menyerahkan selembar amplop seperti kemarin.
Ingin rasanya M@cver menampar muka orang itu. Penghinaannya bertambah keji.
“Pulang. Pulang saja, dan bawa kembali barang ini!”
Pengusaha itu merasa ketakutan. Dia langsung angkat kaki.
“Kurang ajar kau, M@cver!” maki sahabatnya. “Baru menjadi Raja saja kamu sudah berani menentang ajaran nenek moyang kita.”
“Ada apa sebenarnya?” tanya M@cver heran.
“Permintaan yang ditolak sungguh sangat menyedihkan. Tetapi pemberian yang ditolak jauh lebih menyakitkan lagi. Kamu telah menyayat hati orang tadi. Nenek moyang kita mengajarkan, jangan pernah menolak pemberian orang, apalagi dengan cara kasar seperti itu.”
M@cver sadar akan kekhilafannya. Dia takut kualat kalau melanggar ajaran nenek moyang. “Panggil orang tadi!” perintah M@cver pada petugas keamanan.
Keputusan M@cver itu ternyata mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Para pengusaha bersuka ria. Lebih-lebih lagi isterinya. Seumur hidup belum pernah dia melihat nol sebanyak itu. Ini betul-betul ajaib. Sebentar lagi kehidupan isteri M@cver akan berubah seratus delapan puluh derajat. Sebagai wanita Kerajaan Munafiksistan dia akan mewarisi budaya bangsa, mendapat status ikutan dari suami. Kalau suaminya disebut ‘Bapak Raja’, maka dia akan dipanggil ‘Ibu Raja’ secara otomatis. Itulah kebanggaan dan keistimewaan wanita Munafiksistan dibanding kaum prianya. Pria Munafiksistan tidak serta-merta dipanggil ‘Bapak Ratu’ ketika isterinya menjadi ‘Ibu Ratu”.
Seratus hari kemudian berbagai komponen masyarakat terdiri dari organisasi pemuda, mahasiswa, LSM, dan kelompok demonstran bayaran berdemonstrasi di depan Istana Raja. Mereka menuntut M@cver mundur sekarang juga. Menurut para demonstran, selama kepemimpinan M@cver, Kerajaan yang dibangga-banggakan seluruh rakyat ini tidak mengalami kemajuan. Malah ada indikasi dekadensi moral merajalela, terutama di lingkungan birokrasi. Pelayanan masyarakat baik intern maupun ekstern semakin buruk. Proyek-proyek pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, ternyata berlumuran lumpur KKN. Banyak pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan bestek.
“Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanya M@cver pada Inspektur Kerajaan.
“Pernahkah Bapak menerima amplop dari para pemborong sebelum proyek-proyek itu dilaksanakan?” Inspektur Kerajaan balik bertanya.
Nah! M@cver paling sulit melupakan sesuatu. Dia sangat ingat pada pagi jahanam itu! Dan yang paling jahanam adalah sahabatnya yang mengajarkan budaya nenek moyangnya dulu!
“M@cver mundur atau dimundurkan?!” teriak para demonstran semakin garang.
“Mundurkan sekarang!” balas yang lain.
“Mundur sekarang?” tanya M@cver terkekeh. “Sekarang?”
“Sekarang bukan waktunya tidur dan bermimpi, Bat!” kataku pada M@cver yang sedang tidur di kursinya dengan kaki bergoyang-goyang di atas meja. Aku biasa memanggil ‘Bat’ sebagai kependekan ‘sahabat’ pada M@cver, sahabat sejatiku itu.
Rupanya semalaman dia tidak tidur, sehingga sampai pukul sembilan pagi ini dia masih pulas. Komputer di atas meja kerjanya masih menampakkan naskah cerpen yang sedang digarapnya belum selesai. <
Sungailiat, 1 September 2013
Keterangan:
Kisah ini hanyalah fiksi belaka. Apabila terdapat kesamaan nama dan/atau peristiwa, semua itu merupakan kebetulan saja bukanlah suatu kebenaran.