Sejak kecil aku sangat suka pada pistol. Kemahiran para koboi memainkan pistolnya dalam film layar tancap di desaku membuat aku terpesona. Kekuatan dan kekuasaan sebuah pistol sungguh luar biasa. Seorang koboi yang memiliki pistol dua, selalu lebih unggul daripada koboi yang berpistol satu.
Aku sering berkhayal memiliki pistol seperti koboi-koboi itu, supaya aku menjadi seorang pria perkasa. Untuk mewujudkan khayalanku itu, aku membuat pistol-pistolan berbagai jenis dari bermacam bahan. Mulai dari pelepah pisang sampai papan bekas kemasan sabun.
Pada usia remaja, anggapanku bahwa pistol memiliki kekuasaan luar biasa, bertambah tajam. Suatu hari, di hari lebaran, aku bermain di kebun karet tidak jauh dari rumahku. Para pemuda kampungku banyak berkumpul di sana. Mereka melakukan tradisi tahunan. Bermain kartu sambil menenggak bir campur arak.
Tatkala para pemuda itu sedang asyik berpesta, Pak Kades beserta hansip dan para tokoh agama datang. Pak Kades yang baru tiga bulan menjabat itu bertekad ingin memberantas perjudian dan miras di desa kami. Menurut Pak Kades pada pidato iftitahnya seusai pelantikan tempo hari, judi dan miras itu dapat memerosotkan martabat manusia di mata manusia sendiri, apalagi di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu judi dan miras harus segera angkat kaki dari muka bumi ini.
Tetapi sungguh malang. Ketika Pak Kades beserta perangkat desa berusaha membubarkan kawanan pemuda yang sedang asyik berjudi itu, tiba-tiba muncul seorang pria bertubuh kekar. Rambutnya yang pendek dan sepatu larsnya mengingatkan aku pada tokoh-tokoh dalam film perang Vietnam. Dan yang membuat suasana lebih mencekam, di pinggang pria itu bergantung sepucuk pistol.
Aku melirik ke arah Pak Kades. Pejabat desa ini tampak gemetar melihat pria kekar itu mulai menimang-nimang pistolnya. Pak Kades berbisik kepada para hansip dan pemuka agama. Kemudian mereka meninggalkan lokasi perjudian tanpa komentar. Aku dapat memastikan Pak Kades beserta rombongan takut pada pistol itu.
Setelah peristiwa itu aku semakin kagum pada pistol. Benda kecil itu benar-benar memiliki kekuatan magis. Belum diapa-apakan, baru ditimang-timang saja, Pak Kades beserta rombongan sudah takut semua. Apalagi kalau sudah … dor! Sulit aku membayangkannya. Alangkah hebat dan berkuasanya orang yang bisa memiliki pistol, pikirku. Dengan pistol bergayut di pinggang, kita bisa berbuat apa saja sesuka hati tanpa diburu rasa takut. Bisa berhutang banyak, tanpa takut ditagih-tagih, dan sebagainya. Termasuk bisa pakai motor tanpa helm di tengah kota!
Setelah dewasa dan punya anak balita laki-laki, kerinduanku pada pistol belum juga padam. Karena itu aku menyambut gembira kehadiran pistol mainan di berbagai sudut pasar. Di kota-kota sampai ke desa-desa, hampir semua jenis pistol mainan aku borong. Supaya tidak dituduh ‘masa kecil kurang bahagia’ setiap akan membeli pistol, aku berkolusi dengan anak laki-lakiku.
Anak itu aku suruh menangis di depan ibunya, minta dibelikan pistol. Kalau sudah begitu, lancarlah semua urusan! Kedua belah pihak merasa diuntungkan. Kami selalu bermain bersama. Aku senang, anakku bahagia. Kurasa melatih anak berkolusi sejak kecil tak ada salahnya. Hitung-hitung untuk mensosialisasikan budaya bangsa. Bukankah kolusi sudah menyatu dalam darah dan daging bangsa, dan tidak mungkin lagi dipisahkan?
Tragedi yang menimpa anak-anak sebagai akibat bermain pistol-pistolan secara tidak professional, sempat membuat aku sedikit ngeri juga. Sekian banyak korban terkapar di rumah sakit. Ada yang luka matanya. Ada pula yang hidungnya kemasukan peluru. Bahkan ada yang harus dioperasi karena biji matanya koyak tertembak. Hiii!
Walaupun tidak ada larangan resmi bagi pengguna dan penjual pistol mainan, berangsur-angsur jenis mainan satu ini menjadi tidak popular lagi dengan sendirinya. Rupanya hukum alam siapa berbuat akan menanggung akibat, lebih ditaati masyarakat daripada hukum yang dibuat manusia. Dalam hukum manusia berlaku adagium siapa yang membuat (hukum/peraturan), tak akan terjerat. Maka banyaklah para pelanggar hukum kelas kakap bebas dari tuntutan, tanpa proses yang jelas.
Aku termasuk manusia yang takut menanggung akibat. Oleh karena itu atas kesadaran sendiri, aku dan anak kecilku, menyimpan semua pistol mainan kami dalam gudang. Sengaja tidak dimusnahkan, agar kami tidak melupakan sejarah. Suatu saat nanti barang-barang itu mungkin kami perlukan untuk menunjukkan kepada generasi penerus, bahwa pada masa lalu pernah terjadi tragedi yang memilukan. Dengan demikian generasi saat itu, tidak gegabah mencabut hukum alam siapa berbuat akan menanggung akibat!
Obsesiku tentang pistol mulai memudar. Sekarang aku dan anakku beralih hobi memelihara burung. Tidak tanggung-tanggung, kami memelihara burung walet. Bukan karena harga sarangnya mahal. Burung ini kami pilih karena perawatannya sangat mudah. Sediakan bangunan tinggi, diberi nuansa gua dengan gemericik air pegunungan yang romantis. Sehingga burung-burung yang bisa mencari makan sendiri itu dalam waktu singkat dapat berkembang biak dengan pesat. Suara cicitannya merupakan melodi alam yang indah dan tak tertandingi oleh komponis manapun. Aku dan anakku bahagia sekali menekuni hobi baru ini. Terutama dalam menikmati nyanyian walet setiap pagi dan sore hari.
Celakanya, kebahagiaan yang baru saja kureguk diusik oleh manusia yang suka susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah. Suatu malam, burung waletku panik. Mereka mencicit keras-keras dan beterbangan dalam ruangan menimbulkan bunyi gemuruh seperti angin ribut. Segerombolan pencuri berusaha menggondol sarang burung-burung itu. Untunglah aku cepat terbangun.
Dipicu oleh kejadian malam itu, aku teringat kembali pada pistol. Andaikan aku punya pistol, pasti pencuri itu tidak berani mengusik hobiku. Jangankan pencuri, Pak Kades sebagai penguasa tertinggi di desa saja gemetar melihat pistol. Aku jadi ingin sungguh-sungguh memiliki pistol. Pistol sungguh-sungguh. Bukan pistol mainan!
Rupanya kriminalitas di desaku sedang memasuki musim semi. Di siang bolong hari berikutnya, Ketua LKMD nyaris tewas digolok orang tak dikenal. Pihak keamanan desa tersentak. Serta merta mereka mengeluarkan fatwa, bahwa orang-orang penting perlu dipersenjatai untuk melindungi diri. Merasa sebagai orang penting juga, aku gembira menyambut kabar baru ini yang bukan sekadar kabar burung. Berarti mimpiku memiliki pistol bakal terwujud.
Namun fatwa pihak keamanan desa itu telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Heran, akhir-akhir ini setiap fatwa dan kebijakan baru yang diluncurkan selalu disambut pro dan kontra. Seolah-olah sulit mencapai kepastian hukum. Padahal katanya, sekarang ini supremasi hukum akan ditegakkan. Aku jadi curiga, jangan-jangan di desaku ada provokator yang sengaja ingin mengganggu stabilitas. Dan ingin menggoyang kedudukan kades baru yang bertekad memberantas kejahatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih demokratis.
Untunglah pada saat harapanku memiliki pistol nyaris pupus, seseorang menawarkan sepucuk pistol FN 45 padaku. Harganya sepuluh juta rupiah. Sangat murah sekali dibandingkan dengan nyawaku yang terancam melayang bila tidak ada pistol. Tanpa pikir panjang lagi, pistol itu langsung aku ambil.
Sekarang aku sudah sungguh-sungguh memiliki pistol. Pistol sungguh-sungguh. Bukan lagi pistol-pistolan dari pelepah pisang atau terbuat dari bahan plastik seperti dulu. Aku merasa lebih aman sekarang. Ke mana-mana aku selalu ditemani pistol itu. Aku tidak merasa takut lagi diserang musuh secara tiba-tiba. Aku yakin seratus persen pistol ini mampu memproteksi jiwaku dari segala macam gangguan dan ancaman.
Hari-hari bebas dari rasa takut ternyata tidak berlangsung lama. Ketika istriku bertanya tentang izin memiliki dan menggunakan senjata api, aku mulai dihadapi rasa takut. Aku tidak memiliki izin, karena aku membeli pistol itu secara ilegal. Waktu itu aku tidak memandang perlu legalitas. Yang penting adalah rasa aman.
Aku mulai hati-hati terhadap pistolku. Selain takut diketahui pihak berwenang, aku juga takut kalau pitolku diketahui anak laki-lakiku yang berumur lima tahun itu. Aku takut dia mengira aku tidak konsisten. Sudah disimpan diambil lagi. Atau dia mengira pistol itu hanya pistol mainan. Lalu dia main tembak-tembakan dengan temannya. Maka pistol itu aku simpan di tempat yang tidak mungkin dijangkaunya. Di dalam lemari buku. Aku yakin dia tidak akan sampai ke tempat itu, karena dia belum bisa membaca.
Suatu hari yang naas, aku terlanjur menyuruh anakku mengambil buku referensi di lemari buku. Sambil bersiul kegirangan dia menyerahkan buku itu padaku.
“Pak, rupanya masih ada satu lagi pistol yang belum kita simpan di gudang,” katanya sambil menunjukkan pistol yang diambilnya dari lemari buku tadi.
“Roy!” sergahku.
“Sudah lama aku tidak main tembak-tembakan. Aku pinjam dulu, ya Pak?” sambungnya cepat sambil berlari.
“Roy, jangan…”
Dia tak peduli. Aku berusaha mengejarnya. Dia malah menantang sambil menodongkan pistol itu ke arahku seperti sering dilakukannya ketika kami main bersama. Pelan-pelan aku mendekat, bermaksud merebut pistol itu dari tangannya.
“Awas, jangan mendekat!” ancamnya seperti adegan film. “Maju selangkah lagi, ‘burung’ bapak terbang…”
Aku tak percaya dia serius mengancam. Aku terus melangkah. Dan…dor! Aku tumbang seketika.
“Bagaimana keadaan suami saya, dokter?” tanya istriku masih parau pada dokter yang baru selesai melakukan operasi, mencungkil peluru yang bersarang di pangkal pahaku.
“Bersyukurlah, Bu. Kalau sampai terkena ‘pistol’nya, pasti Bapak tidak bisa ‘menembak’ lagi”.
Istriku tersipu. Lalu mencium keningku dengan mesra.***
(Bingkisan ultah ke-6, 26 Maret 2000 buat ananda M.Dzikri HadiyarROYyan)
Aku sering berkhayal memiliki pistol seperti koboi-koboi itu, supaya aku menjadi seorang pria perkasa. Untuk mewujudkan khayalanku itu, aku membuat pistol-pistolan berbagai jenis dari bermacam bahan. Mulai dari pelepah pisang sampai papan bekas kemasan sabun.
Pada usia remaja, anggapanku bahwa pistol memiliki kekuasaan luar biasa, bertambah tajam. Suatu hari, di hari lebaran, aku bermain di kebun karet tidak jauh dari rumahku. Para pemuda kampungku banyak berkumpul di sana. Mereka melakukan tradisi tahunan. Bermain kartu sambil menenggak bir campur arak.
Tatkala para pemuda itu sedang asyik berpesta, Pak Kades beserta hansip dan para tokoh agama datang. Pak Kades yang baru tiga bulan menjabat itu bertekad ingin memberantas perjudian dan miras di desa kami. Menurut Pak Kades pada pidato iftitahnya seusai pelantikan tempo hari, judi dan miras itu dapat memerosotkan martabat manusia di mata manusia sendiri, apalagi di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu judi dan miras harus segera angkat kaki dari muka bumi ini.
Tetapi sungguh malang. Ketika Pak Kades beserta perangkat desa berusaha membubarkan kawanan pemuda yang sedang asyik berjudi itu, tiba-tiba muncul seorang pria bertubuh kekar. Rambutnya yang pendek dan sepatu larsnya mengingatkan aku pada tokoh-tokoh dalam film perang Vietnam. Dan yang membuat suasana lebih mencekam, di pinggang pria itu bergantung sepucuk pistol.
Aku melirik ke arah Pak Kades. Pejabat desa ini tampak gemetar melihat pria kekar itu mulai menimang-nimang pistolnya. Pak Kades berbisik kepada para hansip dan pemuka agama. Kemudian mereka meninggalkan lokasi perjudian tanpa komentar. Aku dapat memastikan Pak Kades beserta rombongan takut pada pistol itu.
Setelah peristiwa itu aku semakin kagum pada pistol. Benda kecil itu benar-benar memiliki kekuatan magis. Belum diapa-apakan, baru ditimang-timang saja, Pak Kades beserta rombongan sudah takut semua. Apalagi kalau sudah … dor! Sulit aku membayangkannya. Alangkah hebat dan berkuasanya orang yang bisa memiliki pistol, pikirku. Dengan pistol bergayut di pinggang, kita bisa berbuat apa saja sesuka hati tanpa diburu rasa takut. Bisa berhutang banyak, tanpa takut ditagih-tagih, dan sebagainya. Termasuk bisa pakai motor tanpa helm di tengah kota!
Setelah dewasa dan punya anak balita laki-laki, kerinduanku pada pistol belum juga padam. Karena itu aku menyambut gembira kehadiran pistol mainan di berbagai sudut pasar. Di kota-kota sampai ke desa-desa, hampir semua jenis pistol mainan aku borong. Supaya tidak dituduh ‘masa kecil kurang bahagia’ setiap akan membeli pistol, aku berkolusi dengan anak laki-lakiku.
Anak itu aku suruh menangis di depan ibunya, minta dibelikan pistol. Kalau sudah begitu, lancarlah semua urusan! Kedua belah pihak merasa diuntungkan. Kami selalu bermain bersama. Aku senang, anakku bahagia. Kurasa melatih anak berkolusi sejak kecil tak ada salahnya. Hitung-hitung untuk mensosialisasikan budaya bangsa. Bukankah kolusi sudah menyatu dalam darah dan daging bangsa, dan tidak mungkin lagi dipisahkan?
Tragedi yang menimpa anak-anak sebagai akibat bermain pistol-pistolan secara tidak professional, sempat membuat aku sedikit ngeri juga. Sekian banyak korban terkapar di rumah sakit. Ada yang luka matanya. Ada pula yang hidungnya kemasukan peluru. Bahkan ada yang harus dioperasi karena biji matanya koyak tertembak. Hiii!
Walaupun tidak ada larangan resmi bagi pengguna dan penjual pistol mainan, berangsur-angsur jenis mainan satu ini menjadi tidak popular lagi dengan sendirinya. Rupanya hukum alam siapa berbuat akan menanggung akibat, lebih ditaati masyarakat daripada hukum yang dibuat manusia. Dalam hukum manusia berlaku adagium siapa yang membuat (hukum/peraturan), tak akan terjerat. Maka banyaklah para pelanggar hukum kelas kakap bebas dari tuntutan, tanpa proses yang jelas.
Aku termasuk manusia yang takut menanggung akibat. Oleh karena itu atas kesadaran sendiri, aku dan anak kecilku, menyimpan semua pistol mainan kami dalam gudang. Sengaja tidak dimusnahkan, agar kami tidak melupakan sejarah. Suatu saat nanti barang-barang itu mungkin kami perlukan untuk menunjukkan kepada generasi penerus, bahwa pada masa lalu pernah terjadi tragedi yang memilukan. Dengan demikian generasi saat itu, tidak gegabah mencabut hukum alam siapa berbuat akan menanggung akibat!
Obsesiku tentang pistol mulai memudar. Sekarang aku dan anakku beralih hobi memelihara burung. Tidak tanggung-tanggung, kami memelihara burung walet. Bukan karena harga sarangnya mahal. Burung ini kami pilih karena perawatannya sangat mudah. Sediakan bangunan tinggi, diberi nuansa gua dengan gemericik air pegunungan yang romantis. Sehingga burung-burung yang bisa mencari makan sendiri itu dalam waktu singkat dapat berkembang biak dengan pesat. Suara cicitannya merupakan melodi alam yang indah dan tak tertandingi oleh komponis manapun. Aku dan anakku bahagia sekali menekuni hobi baru ini. Terutama dalam menikmati nyanyian walet setiap pagi dan sore hari.
Celakanya, kebahagiaan yang baru saja kureguk diusik oleh manusia yang suka susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah. Suatu malam, burung waletku panik. Mereka mencicit keras-keras dan beterbangan dalam ruangan menimbulkan bunyi gemuruh seperti angin ribut. Segerombolan pencuri berusaha menggondol sarang burung-burung itu. Untunglah aku cepat terbangun.
Dipicu oleh kejadian malam itu, aku teringat kembali pada pistol. Andaikan aku punya pistol, pasti pencuri itu tidak berani mengusik hobiku. Jangankan pencuri, Pak Kades sebagai penguasa tertinggi di desa saja gemetar melihat pistol. Aku jadi ingin sungguh-sungguh memiliki pistol. Pistol sungguh-sungguh. Bukan pistol mainan!
Rupanya kriminalitas di desaku sedang memasuki musim semi. Di siang bolong hari berikutnya, Ketua LKMD nyaris tewas digolok orang tak dikenal. Pihak keamanan desa tersentak. Serta merta mereka mengeluarkan fatwa, bahwa orang-orang penting perlu dipersenjatai untuk melindungi diri. Merasa sebagai orang penting juga, aku gembira menyambut kabar baru ini yang bukan sekadar kabar burung. Berarti mimpiku memiliki pistol bakal terwujud.
Namun fatwa pihak keamanan desa itu telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Heran, akhir-akhir ini setiap fatwa dan kebijakan baru yang diluncurkan selalu disambut pro dan kontra. Seolah-olah sulit mencapai kepastian hukum. Padahal katanya, sekarang ini supremasi hukum akan ditegakkan. Aku jadi curiga, jangan-jangan di desaku ada provokator yang sengaja ingin mengganggu stabilitas. Dan ingin menggoyang kedudukan kades baru yang bertekad memberantas kejahatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih demokratis.
Untunglah pada saat harapanku memiliki pistol nyaris pupus, seseorang menawarkan sepucuk pistol FN 45 padaku. Harganya sepuluh juta rupiah. Sangat murah sekali dibandingkan dengan nyawaku yang terancam melayang bila tidak ada pistol. Tanpa pikir panjang lagi, pistol itu langsung aku ambil.
Sekarang aku sudah sungguh-sungguh memiliki pistol. Pistol sungguh-sungguh. Bukan lagi pistol-pistolan dari pelepah pisang atau terbuat dari bahan plastik seperti dulu. Aku merasa lebih aman sekarang. Ke mana-mana aku selalu ditemani pistol itu. Aku tidak merasa takut lagi diserang musuh secara tiba-tiba. Aku yakin seratus persen pistol ini mampu memproteksi jiwaku dari segala macam gangguan dan ancaman.
Hari-hari bebas dari rasa takut ternyata tidak berlangsung lama. Ketika istriku bertanya tentang izin memiliki dan menggunakan senjata api, aku mulai dihadapi rasa takut. Aku tidak memiliki izin, karena aku membeli pistol itu secara ilegal. Waktu itu aku tidak memandang perlu legalitas. Yang penting adalah rasa aman.
Aku mulai hati-hati terhadap pistolku. Selain takut diketahui pihak berwenang, aku juga takut kalau pitolku diketahui anak laki-lakiku yang berumur lima tahun itu. Aku takut dia mengira aku tidak konsisten. Sudah disimpan diambil lagi. Atau dia mengira pistol itu hanya pistol mainan. Lalu dia main tembak-tembakan dengan temannya. Maka pistol itu aku simpan di tempat yang tidak mungkin dijangkaunya. Di dalam lemari buku. Aku yakin dia tidak akan sampai ke tempat itu, karena dia belum bisa membaca.
Suatu hari yang naas, aku terlanjur menyuruh anakku mengambil buku referensi di lemari buku. Sambil bersiul kegirangan dia menyerahkan buku itu padaku.
“Pak, rupanya masih ada satu lagi pistol yang belum kita simpan di gudang,” katanya sambil menunjukkan pistol yang diambilnya dari lemari buku tadi.
“Roy!” sergahku.
“Sudah lama aku tidak main tembak-tembakan. Aku pinjam dulu, ya Pak?” sambungnya cepat sambil berlari.
“Roy, jangan…”
Dia tak peduli. Aku berusaha mengejarnya. Dia malah menantang sambil menodongkan pistol itu ke arahku seperti sering dilakukannya ketika kami main bersama. Pelan-pelan aku mendekat, bermaksud merebut pistol itu dari tangannya.
“Awas, jangan mendekat!” ancamnya seperti adegan film. “Maju selangkah lagi, ‘burung’ bapak terbang…”
Aku tak percaya dia serius mengancam. Aku terus melangkah. Dan…dor! Aku tumbang seketika.
“Bagaimana keadaan suami saya, dokter?” tanya istriku masih parau pada dokter yang baru selesai melakukan operasi, mencungkil peluru yang bersarang di pangkal pahaku.
“Bersyukurlah, Bu. Kalau sampai terkena ‘pistol’nya, pasti Bapak tidak bisa ‘menembak’ lagi”.
Istriku tersipu. Lalu mencium keningku dengan mesra.***
(Bingkisan ultah ke-6, 26 Maret 2000 buat ananda M.Dzikri HadiyarROYyan)