1. Situs Kota Kapur
Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya (UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya).
Secara geografis, situs Kota Kapur merupakan dataran yang menghadap langsung ke selat Bangka. Situs itu dikelilingi oleh hutan rawa pantai di sebelah barat, utara, dan timurnya.
Pada situs Kota Kapur terdapat “benteng tanah” sepanjang kurang lebih satu setengah kilometer. Stratigrafi/pelapisan benteng tanah ini tebalnya lebih dari sepuluh meter dengan tinggi dua setengah meter. Di bawah tanah terdapat berbagai benda arkeologis, seperti sisa struktur bangunan candi, keramik Cina abad 9 – 12, patung Wisnu ber-kuluk (mitred Visnu) abad 5 – 7 bernilai sejarah yang belum terkuak.
Di lokasi ini Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh J. K. van der Meulen, seorang pegawai pamong praja Sungai Selan, pada bulan Desember 1892 di Sungai Mendu desa Kota Kapur Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka. Penemuan ini mengilhami arkeolog dunia, George Coedes, untuk “menemukan” Sriwijaya. Selama ini perhatian orang terhadap prasasti Kota Kapur hanya dalam rangka pengungkapan mistri Sriwijaya saja. Belakangan diketahui bahwa di lokasi ini diduga pernah ada kerajaan Mo-ho-hsin.
Prasasti Kota Kapur berukuran tinggi 1,77 meter itu dengan tulisan Wenggi, terdiri dari 10 baris berisi 240 kata Melayu Kuno. Prof.Hendrik Kern menterjemah dan membahas prasasti itu pada tahun 1913. Terjemahan bebasnya berdasarkan terjemahan Inggris oleh Drs.Boechari dalam “An old Malay Inscription of Sriwijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, tanpa urutan baris, sebagai berikut:
… Engkau, seluruh dewa dewi, yang melindungi (kerajaan) Sriwijaya.
Juga Engkau, Dewa Sungai, dan seluruh roh yang menjadi dasar dari mantra kutukan ini.
Beberapa rakyat di dalam wilayah kerajaanku telah memberontak, (bersekutu dengan) para pemberontak, berbicara dengan para pemberontak, mendengarkan kata-kata para pemberontak, mengetahui para pemberontak, (yang tidak patuh dan) tunduk dan setia padaku dan pada mereka yang telah kutunjuk sebagai datu, (maka orang-orang seperti itu) dibinasakanlah (dengan kutukan)
Dan petua kerajaan Sriwijaya diperintahkan untuk menghancurkan mereka, dan mereka akan dihukum bersama suku dan keluarga mereka. Juga (seluruh) orang-orang berkelakuan jahat, (seperti mereka yang) meneluh orang lain, membuat orang sakit, membuat orang menjadi gila, menggunakan mantra-mantra, meracuni orang lain dengan upas dan tuba, dengan racun yang dibuat dari tumbuhan dan segala jenis tanaman merambat, meramu minyak-minyakan, mengguna-gunai orang lain dengan mantra-mantra, dan seterusnya, maka bagi mereka tertimpakanlah kesialan, digolongkan ke dalam dosa-dosa orang yang berperilaku amat buruk.
Namun jika mereka tunduk dan setia padaku dan pada mereka yang telah kutunjuk sebagai datu, maka dilimpahkanlah karunia pada usaha mereka juga pada suku dan keluarga mereka. Dan dikaruniakanlah keberhasilan, kemakmuran, kesehatan, keamanan dan kelebihan pada seluruh negeri mereka.
Tahun Saka berlalu 608 hari pertama paroterang bulan Waisaka, (28 Februari 686), tatkala kutukan dan sumpah ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Tanah Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.
2. Pengembangan Produk Pariwisata
Situs Kota Kapur sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata, baik pariwisata budaya atau purbakala maupun pariwisata alam dan agro karena situs ini sangat penting untuk kajian arkeologis dan sejarah kerajaan Sriwijaya.
Keunikannya berupa benteng tanah sepanjang satu setengah kilometer lebih, candi yang sangat tua, kolong timah yang luas dikelilingi perbukitan, maupun sungai yang lepas ke Selat Bangka, hutan bakau yang asri serta udara pantai yang segar di sela-sela pohon durian raksasa merupakan daya tarik yang amat kuat untuk menyedot wisatawan nusantara maupun mancanegara.
3. Pengembangan Aksesibilitas
Saat ini untuk menuju situs Kota Kapur dengan alat transportasi darat hanya dapat ditempuh melalui satu jalan dari Pangkalpinang, melintasi desa Terak, Rukam, dan Penagan. Kondisi jalannya masih memprihatinkan. Jika lokasi ini akan dikembangkan sebagai objek pariwisata, perlu dipertimbangkan dalam pembangunan jalan dan jembatan, antara lain:
1. Rehabilitasi dan pelebaran jalan yang sudah ada (dari arah Pangkalpinang);
2. Pembukaan ruas jalan baru ke arah Petaling (ibu kota Kecamatan Mendo Barat) melalui desa Air Pandan;
3. Pembangunan jembatan untuk melintasi sungai Menduk yang membelah desa Kota Kapur dan desa Air Pandan.
4. Penataan Ruang
Kawasan situs Kota Kapur yang luasnya lebih kurang 210 ha itu perlu ditata secermat mungkin supaya pengembangannya tidak menyimpang dari kerangka arkeologis, kesejarahan dan keseimbangan ekosistem.
Pada Peta Situasi Situs Kota Kapur yang dibuat Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1994, digambarkan enam sektor yang mengandung data arkeologi dengan karakteristik berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat direncanakan penataan ruang untuk pembangunan objek-objek pariwisata sejarah atau purbakala, meliputi:
a. Taman Purbakala Kerajaan Kota Kapur (Mo-ho-hsin), yang terdiri dari misalnya:
1) Rekonstruksi bagunan candi;
2) Gedung Museum, untuk menyimpan koleksi arkeologi;
3) Gedung Prasasti, untuk menyimpan replika Prasasti Kota Kapur;
4) Gedung Serba Guna, untuk keperluan pameran, pergelaran kesenian, seminar, dan sebagainya;
5) Kompleks permukiman kuno;
b. Taman Kelekak, berisi tanaman buah-buahan lokal, seperti durian, cempedak, duku, puren, sentol, dan sebagainya.
c. Taman hutan bakau;
5. Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Apabila Pemerintah Daerah berkeinginan memajukan pariwisata budaya, langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan membentuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dinas ini sekurang-kurangnya terdiri dari Bidang Kebudayaan dan Bidang Pariwisata. Bidang Kebudayaan terdiri dari Seksi Kesenian dan Bahasa serta Seksi Sejarah, Purbakala dan Nilai Budaya. Sedangkan Bidang Pariwisata terdiri dari Seksi Pengembangan Produk Pariwisata dan Seksi Pemasaran Pariwisata.
Untuk mengelola objek pariwisata purbakala diperlukan personal yang peduli terhadap kebudayaan, sejarah dan kepurbakalaan. Dalam penerimaan pegawai baru dapat direncanakan formasi bagi yang berpendidikan arkeologi dan antropologi. Sebelum rekrutmen pegawai baru, Pemda dapat memberi kesempatan kepada pegawai yang ada untuk magang di instansi pengelola kebudayaan, seperti Pusat Arkeologi Nasional, Museum Nasional, Balai Arkeologi, Taman Budaya, dan sebagainya.
6. Implementasi Program
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, telah mengatur kewenangan masing-masing di bidang kebudayaan. Sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten telah diakui Menteri Dalam Negeri dalam Keputusan Nomor 130-67 Tahun 2002 tanggal 20 Februari 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota.
Berdasarkan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah tersebut, pengembangan situs Kota Kapur dapat dilakukan oleh:
a. Pemerintah Pusat: melanjutkan penelitian arkeologis, pembuatan replika Prasasti Kota Kapur, dan merekonstruksi bangunan candi.
b. Pemerintah Provinsi: membangun infrastruktur dasar dan pembangunan serta pengelolaan museum.
c. Pemerintah Kabupaten: menetapkan tapak kawasan wisata, membangun sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk pemagaran lokasi.
Mengingat dana pemerintah dan pemerintah daerah untuk pembangunan bidang kebudayaan sangat terbatas, pelaksanaan program ini dapat dilakukan secara bertahap, yaitu:
1. Tahap pertama, selama lima tahun pertama, dengan kegiatan:
a. Pemerintah Daerah menetapkan lokasi situs Kota Kapur sebagai tapak kawasan pariwisata, pembebasan lahan, dan melindunginya dari gangguan manusia yang tidak bertanggung jawab dengan membangun pagar keliling;
b. Melanjutkan penelitian/penggalian di lokasi-lokasi yang diduga menyimpan informasi arkeologis;
c. Penyusunan tata ruang kawasan wisata budaya;
d. Membangun objek pariwisata sejarah/purbakala tahap awal berupa pembuatan replika prasasti Kota Kapur dan bangunan tempat penyimpanannya.
2. Tahap kedua, dimulai pada kurun waktu lima tahun kedua, dengan kegiatan:
a. Pemugaran sisa bangunan candi dan/atau bangunan lainnya yang mungkin ditemukan dalam penelitian di kemudian hari. Kegiatan ini mungkin berlangsung sangat lama, lebih dari sepuluh tahun.
b. Pembangunan museum.
3. Tahap ketiga, selama lima tahun ketiga, dengan kegiatan meminta pengembalian benda-benda arkeologis yang disimpan di Museum Nasional untuk disimpan di lokasi situs.
4. Tahap keempat, pada masa lima tahun keempat, dengan kegiatan menata kompleks Kota Kapur menjadi sebuah objek pariwisata yang bernilai tinggi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, dan hiburan.
Tahap kelima, pada masa lima tahun kelima, pembangunan prasarana penunjang, seperti gedung serba guna dan kompleks permukiman kuno, dan lain-lain.
Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya (UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya).
Secara geografis, situs Kota Kapur merupakan dataran yang menghadap langsung ke selat Bangka. Situs itu dikelilingi oleh hutan rawa pantai di sebelah barat, utara, dan timurnya.
Pada situs Kota Kapur terdapat “benteng tanah” sepanjang kurang lebih satu setengah kilometer. Stratigrafi/pelapisan benteng tanah ini tebalnya lebih dari sepuluh meter dengan tinggi dua setengah meter. Di bawah tanah terdapat berbagai benda arkeologis, seperti sisa struktur bangunan candi, keramik Cina abad 9 – 12, patung Wisnu ber-kuluk (mitred Visnu) abad 5 – 7 bernilai sejarah yang belum terkuak.
Di lokasi ini Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh J. K. van der Meulen, seorang pegawai pamong praja Sungai Selan, pada bulan Desember 1892 di Sungai Mendu desa Kota Kapur Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka. Penemuan ini mengilhami arkeolog dunia, George Coedes, untuk “menemukan” Sriwijaya. Selama ini perhatian orang terhadap prasasti Kota Kapur hanya dalam rangka pengungkapan mistri Sriwijaya saja. Belakangan diketahui bahwa di lokasi ini diduga pernah ada kerajaan Mo-ho-hsin.
Prasasti Kota Kapur berukuran tinggi 1,77 meter itu dengan tulisan Wenggi, terdiri dari 10 baris berisi 240 kata Melayu Kuno. Prof.Hendrik Kern menterjemah dan membahas prasasti itu pada tahun 1913. Terjemahan bebasnya berdasarkan terjemahan Inggris oleh Drs.Boechari dalam “An old Malay Inscription of Sriwijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, tanpa urutan baris, sebagai berikut:
… Engkau, seluruh dewa dewi, yang melindungi (kerajaan) Sriwijaya.
Juga Engkau, Dewa Sungai, dan seluruh roh yang menjadi dasar dari mantra kutukan ini.
Beberapa rakyat di dalam wilayah kerajaanku telah memberontak, (bersekutu dengan) para pemberontak, berbicara dengan para pemberontak, mendengarkan kata-kata para pemberontak, mengetahui para pemberontak, (yang tidak patuh dan) tunduk dan setia padaku dan pada mereka yang telah kutunjuk sebagai datu, (maka orang-orang seperti itu) dibinasakanlah (dengan kutukan)
Dan petua kerajaan Sriwijaya diperintahkan untuk menghancurkan mereka, dan mereka akan dihukum bersama suku dan keluarga mereka. Juga (seluruh) orang-orang berkelakuan jahat, (seperti mereka yang) meneluh orang lain, membuat orang sakit, membuat orang menjadi gila, menggunakan mantra-mantra, meracuni orang lain dengan upas dan tuba, dengan racun yang dibuat dari tumbuhan dan segala jenis tanaman merambat, meramu minyak-minyakan, mengguna-gunai orang lain dengan mantra-mantra, dan seterusnya, maka bagi mereka tertimpakanlah kesialan, digolongkan ke dalam dosa-dosa orang yang berperilaku amat buruk.
Namun jika mereka tunduk dan setia padaku dan pada mereka yang telah kutunjuk sebagai datu, maka dilimpahkanlah karunia pada usaha mereka juga pada suku dan keluarga mereka. Dan dikaruniakanlah keberhasilan, kemakmuran, kesehatan, keamanan dan kelebihan pada seluruh negeri mereka.
Tahun Saka berlalu 608 hari pertama paroterang bulan Waisaka, (28 Februari 686), tatkala kutukan dan sumpah ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Tanah Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.
2. Pengembangan Produk Pariwisata
Situs Kota Kapur sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata, baik pariwisata budaya atau purbakala maupun pariwisata alam dan agro karena situs ini sangat penting untuk kajian arkeologis dan sejarah kerajaan Sriwijaya.
Keunikannya berupa benteng tanah sepanjang satu setengah kilometer lebih, candi yang sangat tua, kolong timah yang luas dikelilingi perbukitan, maupun sungai yang lepas ke Selat Bangka, hutan bakau yang asri serta udara pantai yang segar di sela-sela pohon durian raksasa merupakan daya tarik yang amat kuat untuk menyedot wisatawan nusantara maupun mancanegara.
3. Pengembangan Aksesibilitas
Saat ini untuk menuju situs Kota Kapur dengan alat transportasi darat hanya dapat ditempuh melalui satu jalan dari Pangkalpinang, melintasi desa Terak, Rukam, dan Penagan. Kondisi jalannya masih memprihatinkan. Jika lokasi ini akan dikembangkan sebagai objek pariwisata, perlu dipertimbangkan dalam pembangunan jalan dan jembatan, antara lain:
1. Rehabilitasi dan pelebaran jalan yang sudah ada (dari arah Pangkalpinang);
2. Pembukaan ruas jalan baru ke arah Petaling (ibu kota Kecamatan Mendo Barat) melalui desa Air Pandan;
3. Pembangunan jembatan untuk melintasi sungai Menduk yang membelah desa Kota Kapur dan desa Air Pandan.
4. Penataan Ruang
Kawasan situs Kota Kapur yang luasnya lebih kurang 210 ha itu perlu ditata secermat mungkin supaya pengembangannya tidak menyimpang dari kerangka arkeologis, kesejarahan dan keseimbangan ekosistem.
Pada Peta Situasi Situs Kota Kapur yang dibuat Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1994, digambarkan enam sektor yang mengandung data arkeologi dengan karakteristik berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat direncanakan penataan ruang untuk pembangunan objek-objek pariwisata sejarah atau purbakala, meliputi:
a. Taman Purbakala Kerajaan Kota Kapur (Mo-ho-hsin), yang terdiri dari misalnya:
1) Rekonstruksi bagunan candi;
2) Gedung Museum, untuk menyimpan koleksi arkeologi;
3) Gedung Prasasti, untuk menyimpan replika Prasasti Kota Kapur;
4) Gedung Serba Guna, untuk keperluan pameran, pergelaran kesenian, seminar, dan sebagainya;
5) Kompleks permukiman kuno;
b. Taman Kelekak, berisi tanaman buah-buahan lokal, seperti durian, cempedak, duku, puren, sentol, dan sebagainya.
c. Taman hutan bakau;
5. Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Apabila Pemerintah Daerah berkeinginan memajukan pariwisata budaya, langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan membentuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dinas ini sekurang-kurangnya terdiri dari Bidang Kebudayaan dan Bidang Pariwisata. Bidang Kebudayaan terdiri dari Seksi Kesenian dan Bahasa serta Seksi Sejarah, Purbakala dan Nilai Budaya. Sedangkan Bidang Pariwisata terdiri dari Seksi Pengembangan Produk Pariwisata dan Seksi Pemasaran Pariwisata.
Untuk mengelola objek pariwisata purbakala diperlukan personal yang peduli terhadap kebudayaan, sejarah dan kepurbakalaan. Dalam penerimaan pegawai baru dapat direncanakan formasi bagi yang berpendidikan arkeologi dan antropologi. Sebelum rekrutmen pegawai baru, Pemda dapat memberi kesempatan kepada pegawai yang ada untuk magang di instansi pengelola kebudayaan, seperti Pusat Arkeologi Nasional, Museum Nasional, Balai Arkeologi, Taman Budaya, dan sebagainya.
6. Implementasi Program
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, telah mengatur kewenangan masing-masing di bidang kebudayaan. Sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten telah diakui Menteri Dalam Negeri dalam Keputusan Nomor 130-67 Tahun 2002 tanggal 20 Februari 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota.
Berdasarkan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah tersebut, pengembangan situs Kota Kapur dapat dilakukan oleh:
a. Pemerintah Pusat: melanjutkan penelitian arkeologis, pembuatan replika Prasasti Kota Kapur, dan merekonstruksi bangunan candi.
b. Pemerintah Provinsi: membangun infrastruktur dasar dan pembangunan serta pengelolaan museum.
c. Pemerintah Kabupaten: menetapkan tapak kawasan wisata, membangun sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk pemagaran lokasi.
Mengingat dana pemerintah dan pemerintah daerah untuk pembangunan bidang kebudayaan sangat terbatas, pelaksanaan program ini dapat dilakukan secara bertahap, yaitu:
1. Tahap pertama, selama lima tahun pertama, dengan kegiatan:
a. Pemerintah Daerah menetapkan lokasi situs Kota Kapur sebagai tapak kawasan pariwisata, pembebasan lahan, dan melindunginya dari gangguan manusia yang tidak bertanggung jawab dengan membangun pagar keliling;
b. Melanjutkan penelitian/penggalian di lokasi-lokasi yang diduga menyimpan informasi arkeologis;
c. Penyusunan tata ruang kawasan wisata budaya;
d. Membangun objek pariwisata sejarah/purbakala tahap awal berupa pembuatan replika prasasti Kota Kapur dan bangunan tempat penyimpanannya.
2. Tahap kedua, dimulai pada kurun waktu lima tahun kedua, dengan kegiatan:
a. Pemugaran sisa bangunan candi dan/atau bangunan lainnya yang mungkin ditemukan dalam penelitian di kemudian hari. Kegiatan ini mungkin berlangsung sangat lama, lebih dari sepuluh tahun.
b. Pembangunan museum.
3. Tahap ketiga, selama lima tahun ketiga, dengan kegiatan meminta pengembalian benda-benda arkeologis yang disimpan di Museum Nasional untuk disimpan di lokasi situs.
4. Tahap keempat, pada masa lima tahun keempat, dengan kegiatan menata kompleks Kota Kapur menjadi sebuah objek pariwisata yang bernilai tinggi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, dan hiburan.
Tahap kelima, pada masa lima tahun kelima, pembangunan prasarana penunjang, seperti gedung serba guna dan kompleks permukiman kuno, dan lain-lain.